Dalam
menelusuri sejarah Al-Quran kita menemui banyak nama para sahabat yang
terlibat dengan usaha mengumpul dan menulisnya. Antara nama yang
terkenal dan sering disebutkan ialah Zaid bin Thabit. Beliau merupakan
tokoh yang dilantik oleh Saidina Uthman untuk menyusun al-Quran. Selain
Zaid ada tiga tokoh lain yang terlibat dengan usaha besar tersebut
iaitu Abdullah Ibnu Zubair, Said Ibnu Al-As, Abdul Rahman Ibnu
Al-Harith. Namun ada satu nama yang mungkin kurang dikenali tetapi
turut memainkan peranan dalam penghasilan al-Quran. Tokoh tersebut
ialah Huzaifah al-Yaman. Apakah peranan Huzaifah dalam sejarah
al-Quran?
Huzaifah merupakan
tokoh di zaman Saidina Uthman yang pernah berada di Azerbaijan dan
Armenia. Di sana beliau melihat pertengkaran berlaku di antara penduduk
berasal dari Iraq dan Syam mengenai bacaan al-Quran. (Pertengkaran
timbul kerana al-Quran pada ketika itu dalam bentuk berbagai mushaf
dengan qiraat yang berbeza). Huzaifah menemui Saidina Uthman dan
melapurkan kebimbangan beliau mengenai apa yang dilihatnya. Mendengar
keresahan Huzaifah tentang hal tersebut membuatkan Saidina Uthman
mengambil keputusan memerintahkan Zaid menyusun semula al-Quran. Dari
usaha tersebut lahirlah al-Quran yang kita kenali sebagai Rasm Uthmani.
Kisah Penuh Huzaifah Ibnu Yaman
Sahabat
tokoh penaklukan ini banyak memegang rahsia-rahsia Nabi. Khalifah Umar
bin Khattab ra. mengangkatnya menjadi pemerinah di Madain. Pada tahun
642 M, dia berjaya mengalahkan tentera Persia dalam perang Nahawand,
kemudian dia mengikuti perang penaklukan ke atas Jazirah Arab dan
akhirnya meninggal di kota Madain.
“Jika
engkau ingin digolongkan kepada Muhajirin, engkau memang Muhajir. Dan
jika engkau ingin digolongkan kepada Anshar, engkau memang seorang
Anshar. Pilihlah mana yang engkau sukai. “
Itulah
kalimat yang diucapkan Rasulullah kepada Hudzaifah Ibnu Yaman, ketika
bertemu buat pertama kali di Mekah. Mengenai pilihan itu, apakah beliau
tergolong dari kalangan Muhajirin atau Anshar? Pasti ada kisah
tersendiri bagi Hudzaifah.
Al-Yaman,
ayah Hudzaifah, adalah orang Mekah dari Bani Abbas. Kerana masalah
hutang darah kepada kaumnya, dia terpaksa keluar dari Mekah menuju ke
Yastrib (Madinah). Di sana dia meminta perlindungan kepada Bani Abd
Asyhal dan bersumpah setia pada mereka untuk menjadi keluarga dalam
persukuan Bani Abd Asyhal. Dia kemudian berkahwin dengan anak perempuan
suku Asyhal. Dari perkawinannya itu, lahirlah anaknya, Hudzaifah.
Maka, hilanglah halangan yang menghambat Al-Yaman untuk memasuki kota
Mekah. Sejak itu dia bebas pulang pergi antara Mekah dan Madinah.
Meskipun demikian, dia lebih banyak tinggal dan menetap di Madinah.
Ketika
Islam memancarkan cahanya ke seluruh Jazirah Arab, Al-Yaman termasuk
salah seorang dari sepuluh orang Bani Abbas yang berkeinginan menemui
Rasulullah dan menyatakan keislamannya. Ini semua terjadi sebelum
Rasulullah hijrah ke Madinah. Sesuai dengan garis keturunan yang
berlaku di negeri Arab, yaitu garis keturunan bapak (patriach), maka
Hudzaifah adalah orang Mekah yang lahir dan dibesarkan di Madinah.
Hudzaifah
Ibnu Yaman lahir, dipelihara dan dibesarkan oleh kedua ibu bapanya
yang telah memeluk agama Allah, sebagai rombongan pertama. Kerana itu,
Hudzaifah telah Islam sebelum dia bertemu muka dengan Rasulullah .
Kerinduan
Hudzaifah hendak bertemu dengan Rasulullah memenuhi setiap rongga
hatinya. Sejak masuk Islam, dia senantiasa menunggu-nunggu berita,
sentiasa bertanya tentang keperibadian dan ciri-ciri Rasulullah. Bila
hal itu dijelaskan orang kepadanya, makin bertambah cinta dan
kerinduannya kepada Rasulullah.
Pada
suatu hari ketika beliau hendak berangkat ke Mekah, beliau menemui
Rasulullah. Setelah bertemu, Hudzaifah bertanya kepada Rasulullah,
“Apakah saya ini seorang Muhajir atau Anshar, ya Rasulullah?”
Jawab
Rasulullah, “Jika engkau ingin disebut Muhajir engkau memang seorang
muhajir dan jika engkau ingin disebut Anshar, engkau memang orang
Anshar. Pilihlah mana yang engkau sukai.”
Hudzaifah menjawab, “Aku memilih Anshar, ya Rasulullah!”
Setelah
Rasulullah hijrah ke Madinah, Hudzaifah selalu mendampingi beliau
bagaikan seorang kekasih. Hudzaifah turut bersama-sama dalam setiap
peperangan yang dipimpinnya, kecuali dalam Perang Badar. Mengapa dia
tidak ikut dalam Perang Badar? Soal ini pernah diceritakan oleh
Hudzaifah. Ia berkata, “Yang menghalangiku untuk turut berperang dalam
peperangan Badar karena saat itu aku dan bapakku sedang pergi keluar
Madinah. Dalam perjalanan pulang, kami ditangkap oleh kaum kafir
Quraisy seraya bertanya, “Hendak ke mana kalian?”
Mereka menjawab, “Ke Madinah!”
Mereka bertanya, “Kalian hendak menemui Muhammad?”
“Kami hendak pulang ke rumah kami di Madinah,” jawab kami.
Mereka
tidak bersedia membebaskan kami, kecuali dengan perjanjian bahwa kami
tidak akan membantu Muhammad, dan tidak akan memerangi mereka. Sesudah
itu barulah kami dibebaskannya.
Setelah
bertemu dengan Rasulullah , kami menceritakan kepada beliau peristiwa
tertangkapnya kami oleh kaum kafir Quraisy dan perjanjian dengan
mereka. Lalu, kami bertanya kepada beliau tentang apa yang harus kami
lakukan.
Rasulullah menjawab, “Batalkan perjanjian itu, dan marilah kita mohon pertolongan Allah untuk mengalahkan mereka!”
Dalam
Perang Uhud, Hudzaifah ikut memerangi kaum kafir bersama dengan
ayahnya, Al-Yaman. Dalam perang itu, Hudzaifah mendapat cobaan besar.
Dia pulang dengan selamat, tetapi bapaknya syahid oleh pedang kaum
muslimin sendiri, bukan kaum musyrikin.
Berikut kisahnya,
pada hari terjadinya Perang Uhud, Rasulullah menugaskan Al-Yaman (ayah
Hudzaifah) dan Tsabit bin Waqsy mengawal benteng tempat para wanita
dan anak-anak, karena keduanya sudah lanjut usia. Ketika perang
memuncak dan berkecamuk dengan sengit, Al-Yaman berkata kepada
temannya, “Bagaimana pendapatmu, apalagi yang harus kita tunggu. Umur
kita tinggal seperti lamanya kita menunggu keledai minum dengan puas.
Kita mungkin saja mati hari ini atau besok. Apakah tidak lebih baik
bila kita ambil pedang, lalu menyerbu ke tengah-tengah musuh membantu
Rasulullah. Mudah-mudahan Allah memberi kita rezeki menjadi syuhada
bersama-sama dengan nabi-Nya.” Keduanya lalu mengambil pedangnya dan
terjun ke medan pertempuran.
Tsabit bin Waqsy
memperoleh kemuliaan di sisi Allah. Dia syahid di tangan kaum
musyrikin. Tetapi, Al-Yaman menjadi sasaran pedang kaum muslimin
sendiri, karena mereka tidak mengenalnya. Hudzaifah berteriak, “Itu
bapakku …! Itu bapakku …!” Tetapi sayang, tidak seorang pun yang
mendengar teriakannya, sehingga bapaknya jatuh tersungkur oleh pedang
teman-temannya sendiri. Hudzaifah tidak berkata apa-apa, kecuali hanya
berdoa kepada Allah, “Semoga Allah Taala mengampuni kalian, Dia Maha
Pengasih dari yang paling pengasih.”
Rasulullah
memutuskan untuk membayar tebusan darah (diyat) bapak Hudzaifah kepada
anaknya, Hudzaifah. Hudzaifah berkata, “Bapakku menginginkan supaya
dia mati syahid. Keinginannya itu kini telah dicapainya. Wahai Allah!
Saksikanlah, sesungguhnya aku menyedekahkan diyat darah bapakku kepada
kaum muslimin.”
Maka, dengan pernyataannya itu, penghargaan Rasulullah terhadap Hudzaifah bertambah tinggi dan mendalam.
Rasulullah
menilai dalam pribadi Hudzaifah Ibnul Yaman terdapat tiga keistimewaan
yang menonjol. Pertama, cerdas, sehingga dia dapat meloloskan diri
dalam situasi yang serba sulit. Kedua, cepat tanggap, berpikir cepat,
tepat dan jitu, yang dapat dilakukannya setiap diperlukan. Ketiga,
cermat memegang rahasia, dan berdisplin tinggi, sehingga tidak seorang
pun dapat mengorek yang dirahasiakannya.
Sudah
menjadi salah satu kebijaksanaan Rasulullah, berusaha menyingkap
keistimewaan para sahabatnya dan menyalurkannya sesuai dengan bakat dan
kesanggupan yang terpendam dalam pribadi masing-masing mereka. Yakni,
menempatkan seseorang pada tempat yang selaras.
Kesulitan
terbesar yang dihadapi kaum muslimin di Madinah ialah kehadiran kaum
Yahudi munafik dan sekutu mereka, yang selalu membuat isu-isu dan
muslihat jahat, yang selalu dilancarkan mereka terhadap Rasulullah dan
para sahabat. Untuk menghadapi kesulitan ini, Rasulullah mempercayakan
suatu yang sangat rahasia kepada Hudzaifah Ibnul Yaman, dengan
memberikan daftar nama orang munafik itu kepadanya. Itulah suatu
rahasia yang tidak pernah bocor kepada siapa pun hingga sekarang, baik
kepada para sahabat yang lain atau kepada siapa saja. Dengan
mempercayakan hal yang sangat rahasia itu, Rasulullah menugaskan
Hudzaifah memonitor setiap gerak-gerik dan kegiatan mereka, untuk
mencegah bahaya yang mungkin dilontarkan mereka terhadap Islam dan kaum
muslimin. Karena inilah, Hudzaifah Ibnul Yaman digelari oleh para
sahabat dengan Shaahibu Sirri Rasulullah (Pemegang Rahasia Rasulullah).
Suatu
ketika, Rasulullah memerintahkan Hudzaifah melaksanakan suatu tugas
yang amat berbahaya, dan membutuhkan keterampilan luar biasa untuk
mengatasinya. Karena itulah, beliau memilih orang yang cerdas, tanggap,
dan berdisiplin tinggi. Peristiwa itu terjadi pada puncak peperangan
Khandaq. Kaum muslimin telah lama dikepung rapat oleh musuh, sehingga
mereka merasakan ujian yang berat, menahan penderitaan yang hampir tidak
tertangguhkan, serta kesulitan-kesulitan yang tidak teratasi. Semakin
hari situasi semakin gawat, sehingga menggoyahkan hati yang lemah.
Bahkan, menjadikan sementara kaum muslimin berprasangka yang tidak wajar
terhadap Allah .
Namun
begitu, pada saat kaum muslimin mengalami ujian berat dan menentukan
itu, kaum Quraisy dan sekutunya yang terdiri dari orang-orang musyrik
tidak lebih baik keadaannya daripada yang dialami kaum muslimin. Karena
murka-Nya, Allah menimpakan bencana kepada mereka dan melemahkan
kekuatannya. Allah meniupkan angin topan yang amat dahsyat, sehingga
menerbangkan kemah-kemah mereka, membalikkan periuk, kuali, dan belanga,
memadamkan api, menyiramkan muka mereka dengan pasir dan menutup mata
dan hidung mereka dengan tanah.
Pada
situasi genting dalam sejarah setiap peperangan, pihak yang kalah
ialah yang lebih dahulu mengeluh dan pihak yang menang ialah yang dapat
bertahan menguasai diri melebihi lawannya. Dalam detik-detik seperti
itu, amat diperlukan informasi secepatnya mengenai kondisi musuh, untuk
menetapkan penilaian dan landasan dalam mengambil putusan melalui
musyawarah.
Ketika itulah
Rasulullah membutuhkan keterampilan Hudzaifah Ibnul Yaman untuk
mendapatkan info-info yang tepat dan pasti. Maka, beliau memutuskan
untuk mengutus Hudzaifah ke jantung pertahanan musuh, dalam kegelapan
malam yang hitam pekat. Marilah kita dengarkan dia bercerita, bagaimana
dia melaksanakan tugas maut tersebut.
Hudzaifah
berkata, “Malam itu kami (tentara muslimin) duduk berbaris, Abu Sufyan
dengan dua baris pasukannya kaum musyrikin Mekah mengepung kami
sebelah atas. Orang-orang Yahudi Bani Quraizhah berada di sebelah
bawah. Yang kami khawatirkan ialah serangan mereka terhadap para wanita
dan anak-anak kami. Malam sangat gelap. Belum pernah kami alami gelap
malam yang sepekat itu, sehingga tidak dapat melihat anak jari sendiri.
Angin bertiup sangat kencang, sehingga desirannya menimbulkan suara
bising yang memekakkan. Orang-orang lemah iman, dan orang-orang munafik
minta izin pulang kepada Rasulullah, dengan alasan rumah mereka tidak
terkunci. Padahal, sebenarnya rumah mereka terkunci.
Setiap
orang yang minta izin pulang diberi izin oleh Rasulullah, tidak ada
yang dilarang atau ditahan beliau. Semuanya keluar dengan
sembunyi-sembunyi, sehingga kami yang tetap bertahan hanya tinggal 300
orang.
Rasulullah berdiri
dan berjalan memeriksa kami satu per satu. Setelah beliau sampai di
dekatku, aku sedang meringkuk kedinginan. Tidak ada yang melindungi
tubuhku dari udara dingin yang menusuk-nusuk, selain sehelai sarung
butut kepunyaan istriku, yang hanya dapat menutupi hingga lutut. Beliau
mendekatiku yang sedang menggigil, seraya bertanya, “siapa ini!”
“Hudzaifah!” jawabku.
“Hudzaifah!” tanya Rasulullah minta kepastian. “Aku merapat ke tanah, sulit berdiri karena sangat lapar dan dingin.”
“Betul, ya Rasulullah!” jawabku.
“Ada
beberapa peristiwa yang dialami musuh. Pergilah engkau ke sana dengan
sembunyi-sembunyi untuk mendapatkan data-data yang pasti, dan laporkan
kepadaku segera …!” kata beliau memerintah.
Aku bangun dengan
ketakutan dan kedinginan yang sangat menusuk. Maka, Rasulullah berdoa,
“Wahai Allah! lindungilah dia, dari hadapan, dari belakang, kanan,
kiri, atas, dan dari bawah.”
Demi Allah! Sesudah Rasulullah selesai berdoa, ketakutan yang
menghantui dalam dadaku dan kedinginan yang menusuk-nusuk tubuhku hilang
seketika, sehingga aku merasa segar dan perkasa. Tatkala aku
memalingkan diriku dari Rasulullah, beliau memanggilku dan berkata,
“Hai, Hudzaifah! sekali-kali jangan melakukan tindakan yang mencurigakan
mereka sampai tugasmu selesai, dan kembali kepadaku!”
Jawabku, “Saya siap, ya Rasulullah!”
Lalu,
aku pergi dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati sekali, dalam
kegelapan malam yang hitam kelam. Aku berhasil menyusup ke jantung
pertahanan musuh dengan berlagak seolah-olah aku anggota pasukan mereka.
Belum lama aku berada di tengah-tengah mereka, tiba-tiba terdengar Abu
Sufyan memberi komando.
Ia berkata, “Hai, pasukan Quraisy!
dengarkan aku berbicara kepada kamu sekalian. Aku sangat khawatir,
hendaknya pembicaraanku ini jangan sampai terdengar oleh Muhammad.
Karena itu, telitilah lebih dahulu setiap orang yang berada di samping
kalian masing-masing!”
Mendengar ucapan Abu Sufyan, aku segera memegang tangan orang yang di
sampingku seraya bertanya, “Siapa kamu?” Jawabnya, “Aku si Anu, anak si
Anu!”
Sesudah dirasanya
aman, Abu Sufyan melanjutkan bicaranya, “Hai, pasukan Quraisy! demi
Tuhan! Sesungguhnya kita tidak dapat bertahan di sini lebih lama lagi.
Hewan-hewan kendaraan kita telah banyak yang mati. Bani Quraizhah
berkhianat meninggalkan kita. Angin topan menyerang kita dengan ganas
seperti kalian rasakan. Karena itu, berangkatlah kalian sekarang dan
tinggalkan tempat ini. Sesungguhnya aku sendiri akan berangkat.”
Selesai
berkata demikian, Abu Sufyan kemudian mendekati untanya, melepaskan
tali penambat, lalu dinaiki dan dipukulnya. Unta itu bangun dan Abu
Sufyan langsung berangkat. Seandainya Rasulullah tidak melarangku
melakukan suatu tindakan di luar perintah sebelum datang melapor kepada
beliau, sungguh telah kubunuh Abu Sufyan dengan pedangku.
Aku
kembali ke pos komando menemui Rasulullah. Kudapati beliau sedang
salat di tikar kulit, milik salah seorang istrinya. Tatkala beliau
melihatku, didekatkannya kakinya kepadaku dan diulurkannya ujung tikar
menyuruhku duduk di dekatnya. Lalu, kulaporkan kepada beliau segala
kejadian yang kulihat dan kudengar. Beliau sangat senang dan bersuka
hati, serta mengucapkan puji dan syukur kepada Allah .
Hudzaifah Ibnul Yaman
sangat cermat dan teguh memegang segala rahasia mengenai orang-orang
munafik selama hidupnya, sampai kepada seorang khalifah sekalipun yang
mencoba mengorek rahasia tetap ia tidak mau membocorkannya.
Sampai-sampai khalifah Umar bin Khathtab r.a. ada orang muslim yang
meninggal, dia bertanya, “Apakah Hudzaifah turut menyalatkan jenazah
orang itu ?” Jika mereka menjawab, “Ada,” beliau turut menyalatkannya.
Suatu ketika, Khalifah Umar pernah bertanya kepada Hudzaifah dengan cerdik,”Adakah di antara pegawai-pegawaiku orang munafik?”
Jawab Hudzaifah,”Ada seorang!”
“Tolong tunjukkan kepadaku siapa?” kata Umar.
Hudzaifah menjawab, “Maaf Khalifah, saya dilarang Rasulullah mengatakannya.”
“Seandainya kautunjukkan, tentu Khalifah akan langsung memecat pegawai yang bersangkutan,” kata Hudzaifah bercerita.
Namun
begitu, amat sedikit orang yang mengetahui bahawa Hudzaifah Ibnu Yaman
adalah pahlawan penakluk Kota Nahawand, Dainawar, Hamadzan dan Rai.
Dia membebaskan kaum muslimin kota-kota
tersebut dari genggaman kekuasaan Persia yang bertuhankan berhala.
Hudzaifah juga termasuk tokoh yang mempelopori keseragaman mushhaf Al
Quran, kerana kitabullah itu beraneka ragam coraknya di tangan kaum
muslimin. Dan Hudzaifah, hamba Allah yang sangat takut kepada Allah, dan
sangat takut akan siksanya.
Ketika Hudzaifah sedang sakit kuat menjelang ajalnya tiba, beberapa orang sahabat datang mengunjunginya pada tengah malam.
Hudzaifah bertanya kepada mereka,”Pukul berapa sekarang?”
Mereka menjawab, “Sudah dekat Subuh.”
Hudzaifah berkata, “Aku berlindung kepada Allah dari Subuh yang menyebabkan aku masuk neraka.”
Ia bertanya kembali, “Adakah tuan-tuan membawa kafan?”
Mereka menjawab, “Ada.”
Hudzaifah
berkata, “Tidak perlu kafan yang mahal. Jika diriku baik dalam
penilaian Allah, Dia akan menggantinya untukku dengan kafan yang lebih
baik. Dan, jika aku tidak baik dalam pandangan Allah, Dia akan
menanggalkan kafan itu dari tubuhku.” Sesudah itu dia berdoa kepada
Allah, “Wahai Allah! sesungguhnya Engkau tahu, aku lebih suka fakir
daripada kaya, aku lebih suka sederhana daripada mewah, aku lebih suka
mati daripada hidup.”
Sesudah
berdoa rohnya berangkat. Seorang kekasih Allah kembali kepada Allah
dalam kerinduan. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya. Wallahu a’lam
bish-shawab.
Huzaifah bin Yamman (wafat 36 H/656 M)
Dari petikan : ahlulhadist
Sumber: Shuwar min Hayaatis Shahabah, karya Doktor ‘Abdurrahman Ra’fat Basya