Aku Ingin Mencintaimu Ya Rasululluh
Dulu, hampir-hampir saya tidak mengenal siapa nabi saya. Siapa Rasulullah SAW itu. Padahal saya muslim. Setiap solat saya selalu baca selawat. Ini memang sangat keterlaluan. Barangkali kerana saya mengenal agama saya tidak begitu detail seperti kawan-kawan yang belajar di pondok atau di sekolah agama.
Hingga, ketika teman saya yang bekerja di kedai kitab itu memutar selawat setiap saya ke sana, saya biasa-biasa saja dengan senandung itu.
Ketika tahun 90-an para mahasiswa mengejar-ngejar jurnalis dan pengarang Arswendo Atmowiloto, saya juga 'adem ayem' saja. Padahal alasan para mahasiswa waktu itu disebabkan pooling yang dilakukan majalah yang ia pimpin sangat menghina Muhammad SAW. Ia menempatkan Rasulullah di urutan yang kesebelas, persis satu tingkat di bawah nama Arswendo sendiri. Sedang di atas nama Rasulullah ada nama-nama Suharto, Tutut, Zainuddin MZ dan tokoh-tokoh orde baru lainnya.
Tak lama kemudian, setelah geger itu, dunia Islam juga di kejutkan oleh novel The Satanic Verses, karya Salman Rusydi. Novel yang ditulis pengarang Inggeris kelahiran India itu juga dinilai sangat menghina Nabi kita. Sehingga pemimpin Republik Islam Iran waktu itu, Ayatullah Khomaini, menyediakan berjuta-juta dollar untuk siapa saja yang bisa menemukan Salman, baik dalam keadaan mati atau hidup. Pada saat itupun saya tenang-tenang saja. Tak ada reaksi apapun. Bahkan tak ada rasa apapun dalam diri saya. Seolah yang dihina adalah seorang manusia biasa.
Tapi suatu ketika, Allah memperkenankan saya bertemu seorang kawan. Kami berdiskusi soal keagamaan. Di ujung pembicaraan, ia menghina Muhammad SAW. Dada saya hampir meledak. Tangan saya hampir-hampir memukul muka kawan saya itu. Mulut saya ingin sekali berteriak. Namun, sayang saya tidak bisa membela keberadaan Nabi saya. Karena pengetahuan saya tentang Muhammad begitu dangkal. Saya menyesal sekali. Sejak itulah saya mulai belajar bersungguh-sungguh untuk mengetahui dengan jelas dan benar siapa Muhammad SAW itu.
Sejak peristiwa itu saya rajin mendatangi kajian-kajian keislaman di sebuah kampus kota saya. Sejak itu saya setiap awal pagi berjalan hampir tiga kilometer untuk imengikute pengajian di sebuah pondok bersebelahan kampung saya. Sejak itulah saya rajin silaturrahim kepada kawan-kawan saya yang aktif di kegiatan Islam kampus. Walau saya sendiri hanya sebagai pedagang kaki lima dan bukan mahasiswa.
Alhamdulillah, dari sanalah saya sedikit tahu nabi agung itu, yang Allah dan para malaikatNya saja berselawat pada baginda. Figura seorang pemimpin yang ketika anaknya minta dicarikan pembantu rumah tangga, justru sang anak diberikan amalan agar selalu bertasbih, bertahmid dan bertakbir saja. Tokoh sederhana yang ketika ditawari emas sebesar gunung Uhud, justeru memilih keluarga dan akhirat saja. Pemimpin para da'i yang ketika dilempari batu di Thaif membalasnya dengan melempar senyum dan mendoakan kebaikan. Sang 'Abid, yang dijamin masuk surga tanpa hisab, tapi masih berdiri kukuh di waktu malam untuk beribadah hinggakan kakinya bengkak-bengkak. Orang mulia, yang ketika mendekati ajal, yang beliau sebut-sebut bukanlah isteri, anak atau keluarga lainnya, tapi umatnyalah yang beliau sebut-sebut.
Membaca itu semua, saya jadi teringat perkataan imam masjid di kampung saya dulu ketika mahu mengajarkan sejarah nabi. Ia berkata: Mari kita belajar mengenal Nabi kita. Belajar megenal bagaimana tingkah laku pemimpin kita. Dengan mengenal itu semua, kita akan menjadi cinta pada baginda. Dan dengan demikan akan mudah untuk melaksanakan apa yang baginda contohkan.
Kalimat itu terngiang-ngiang kembali di telinga saya. Cinta. Lagi-lagi kerana alasan cinta mereka dengan ringan mampu berbuat sesuatu walaupun risikonya sangat tinggi. Kerana cinta, mereka rela mengorbankan harta, tenaga, bahkan nyawa, demi sang kekasih yang dicintainya. Dan saya yakin cinta mereka-mereka yang telah mengenal Nabi itu bukanalah cinta buta. Tapi cinta yang dilandasi sesuatu keyakinan murni yang sangat kuat.
Kembali saya meraba diri sendiri. Setelah agak sedikit mengenal, apakah saya lantas dengan mudah mencintai Nabi?
Ya Allah, ternyata mencintai Nabi tak semudah mencintai orang tua, keluarga, atau tak semudah mencintai pasangan kita. Mencintai Nabi ternyata memerlukan ketahanan diri yang luar biasa. Bahkan nabi sendiri, ketika ada seorang perempuan datang pada beliau, lantas perempuan itu mengungkapkan keinginannya untuk mencintai nabi setulus-tulusnya, lalu Nabi bertanya, "Apakah sudah kau pikirkan dulu masak-masak? Kerana mencintaiku itu akan datang banyak cubaan. Dan datangnya cubaan itu seperti datangnya air bah," kata Nabi.
Bererti mencintai nabi tidaklah semudah yang diungkapkan lidah. Dan saya sendiri, merasa masih sangat tertatih-tatih dalam menuju darjat cinta Rasul. Sebab mencintai Rasul itu bererti mencintai Allah juga. Dan seandainya boleh saya mengibaratkan, Allah dan Rasul adalah dua sisi mata wang. Yang satupun tak boleh dihilangkan.
Ya Rabbul Jalil, berilah aku kekuatan untuk mencintai Rasul dan mencintaiMu. Agar aku bisa dengan mudah melaksanakan apa yang Kau perintahkan dan menjauhi apa yang Kau larang.
Dan saat-saat ini aku seringkali bertanya pada diri sendiri, sudah sejauh manakah aku mencintai Rasulullah SAW?
Wallahu a'lam.
oleh : SusWoyo
Post a Comment